Beranda | Artikel
Faidah Ushul Tsalatsah [bagian 7]
Kamis, 6 April 2017

Materi :

– Beramal dengan Ilmu

– Pentingnya Amal

– Syarat Diterimanya Amal

Beramal dengan Ilmu

Mengenal Allah harus melahirkan amalan. Yaitu berupa keyakinan tentang kesempurnaan nama-nama dan sifat-sifat Allah, keyakinan bahwa Allah satu-satunya pencipta dan pengatur serta pemberi rezeki. Selain itu anda harus mempersembahkan ibadah kepada Allah. Anda harus meyakini bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain Allah.

Mengenal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga harus membuahkan amalan. Yaitu dengan anda meyakini bahwa beliau adalah nabi kita, wajib mengikutinya, mengagungkan beliau, mencintainya, membenarkan berita-berita yang beliau sampaikan, melaksanakan perintahnya dan menjauhi larangannya serta mengikuti tuntunannya.

Mengenal Islam juga harus disertai dengan amalan. Yaitu anda menyerahkan diri kepada Allah dengan bertauhid, tunduk kepada-Nya dengan ketaatan, melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, serta berlepas diri dari syirik dan pelakunya (lihat keterangan Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi hafizhahullah dalam Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah, hal. 13-14)

Pentingnya Amal

Tidak cukup seorang itu dengan belajar atau mengajarkan ilmu, bahkan dia juga harus mengamalkan ilmunya itu. Ilmu tanpa amalan hanya akan menjadi bukti yang menjatuhkan seorang insan. Ilmu tidaklah bermanfaat jika tidak diamalkan. Adapun orang yang berilmu tetapi tidak beramal maka ini adalah termasuk golongan orang yang dimurkai. Karena dia telah mengetahui kebenaran lantas dia justru meninggalkannya dalam keadaan telah mengetahuinya.

Bahkan disebutkan di dalam hadits bahwa orang yang berilmu tetapi tidak beramal akan menjadi orang yang pertama-tama menjadi bahan bakar api neraka. Selain itu perlu diingat bahwa jika seorang beramal tanpa ilmu maka hal itu juga akan menjadi bencana baginya. Oleh sebab itu setiap kali sholat kita membaca doa di dalam setiap raka’at ketika membaca surat al-Fatihah ‘Ihdinash shirathal mustaqim’ yang artinya, “Tunjukilah kami jalan yang lurus.” Orang yang beramal tanpa ilmu termasuk golongan orang yang sesat, sedangkan orang yang berilmu tetapi tidak beramal termasuk golongan orang yang dimurkai. Dengan demikian, orang yang berjalan di atas shirathal mustaqim itu adalah yang berilmu dan beramal (lihat keterangan Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah dalam Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah, hal. 25-26)

Syaikh Sulaiman ar-Ruhaili hafizhahullah menerangkan, bahwa menggabungkan ilmu dan amal adalah jalan para nabi. Inilah hakikat jalan yang lurus/shirothol mustaqim. Apabila ditinjau dari hal ini manusia terbagi menjadi tiga kelompok:

  1. Orang yang berilmu namun tidak beramal, mereka adalah orang-orang yang dimurkai [al-maghdhubi ‘alaihim] seperti halnya orang-orang Yahudi dan yang seperti mereka
  2. Orang yang beramal namun tanpa ilmu, sehingga menjerumuskan mereka dalam berbagai kebid’ahan. Mereka itulah orang-orang yang sesat [adh-dhaalliin] seperti halnya orang-orang Nasrani dan yang serupa dengan mereka. Oleh sebab itu para ulama kita mengatakan, “Barangsiapa yang rusak diantara orang berilmu diantara kita menyerupai kaum Yahudi. Dan barangsiapa yang rusak diantara ahli ibadah kita menyerupai kaum Nasrani.”
  3. Orang yang berilmu dan mengamalkan ilmunya, inilah jalan para nabi dan pengikut mereka. Inilah hakikat shirothol mustaqim yang kita minta setiap hari sampai berulang kali. Inilah jalan orang-orang yang diberikan nikmat oleh Allah. Oleh sebab itulah para salafus shalih adalah orang-orang yang sangat bersemangat dalam beramal. Tidak sebagaimana kita yang hanya bersemangat untuk ‘menghitamkan kertas’ namun tidak bersemangat untuk beramal. Para salafus shalih tidak demikian! Bahkan, mereka adalah orang-orang yang bersemangat untuk berilmu dan beramal (lihat Syarh Tsalatsah al-Ushul, hal. 44-47)

Syaikh Abdurrahman bin Qasim rahimahullah berkata, “Amal adalah buah dari ilmu. Ilmu dicari untuk menuju sesuatu yang lain -yaitu amal- sebagaimana halnya sebatang pohon. Adapun amal laksana buahnya. Oleh sebab itu harus mengamalkan agama Islam, karena orang yang memiliki ilmu namun tidak beramal lebih jelek daripada orang yang bodoh.” (lihat Hasyiyah Tsalatsah al-Ushul, hal. 12). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan. Amat besar kemurkaan Allah karena kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan.” (ash-Shaff: 2-3) (lihat Syarh Tsalatsah al-Ushul oleh Syaikh Dr. Shalih bin Sa’ad as-Suhaimi hafizhahullah, hal. 6)

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Bukanlah letak kebaikan seorang insan itu ketika dia telah mengetahui kebenaran tanpa dibarengi kecintaan kepadanya, keinginan, dan kesetiaan untuk mengikutinya. Sebagaimana kebahagiaannya tidaklah terletak pada keadaan dirinya yang telah mengenal Allah dan mengakui apa-apa yang menjadi hak-Nya [ibadah] apabila dia tidak mencintai Allah, beribadah, dan taat kepada-Nya. Bahkan, orang yang paling keras siksanya pada hari kiamat kelak adalah orang yang berilmu namun tidak beramal dengannya. Dan telah dimaklumi bahwa hakikat iman adalah pengakuan/ikrar, bukan semata-mata pembenaran/tashdiq. Di dalam ikrar/pengakuan itu telah terkandung; ucapan hati [qaul qalbi] yaitu berupa tashdiq/pembenaran, dan juga amalan hati [‘amalul qalbi] yaitu berupa inqiyad/kepatuhan.” (lihat Mawa’izh Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, hal. 92)

Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Adalah suatu hal yang telah disepakati diantara para sahabat, tabi’in, ulama sesudah mereka, dan para ulama yang kami jumpai bahwasanya iman terdiri dari ucapan, amalan, dan niat. Salah satu saja tidak sah apabila tidak dibarengi oleh bagian yang lainnya.” (lihat Aqwal at-Tabi’in fi Masa’il at-Tauhid wa al-Iman, hal. 1145)

Syarat Diterimanya Amal

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabb-nya hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabb-nya dengan sesuatu apapun.” (al-Kahfi: 110). Imam Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan bahwa amal salih ialah amalan yang sesuai dengan syari’at Allah, sedangkan tidak mempersekutukan Allah maksudnya adalah amalan yang diniatkan untuk mencari wajah Allah (ikhlas), inilah dua rukun amal yang akan diterima di sisi-Nya (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [5/154] cet. al-Maktabah at-Taufiqiyah)

Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata, “Sesungguhnya amalan jika ikhlas namun tidak benar maka tidak akan diterima. Demikian pula apabila amalan itu benar tapi tidak ikhlas juga tidak diterima sampai ia ikhlas dan benar. Ikhlas itu jika diperuntukkan bagi Allah, sedangkan benar jika berada di atas Sunnah/tuntunan.” (lihat Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hal. 19 cet. Dar al-Hadits).

Sa’id bin Jubair rahimahullah berkata, “Tidak akan diterima ucapan kecuali apabila dibarengi dengan amalan. Tidak akan diterima ucapan dan amalan kecuali jika dilandasi dengan niat. Dan tidak akan diterima ucapan, amalan, dan niat kecuali apabila bersesuaian dengan as-Sunnah.” (lihat al-Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil munkar karya Ibnu Taimiyah, hal. 77 cet. Dar al-Mujtama’)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah tabaraka wa ta’ala berfirman, ‘Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang di dalamnya dia mempersekutukan selain-Ku bersama diri-Ku maka Kutinggalkan dia bersama kesyirikannya.” (HR. Muslim)

Dari Ummul Mukminin Ummu Abdillah ‘Aisyah radhiyallahu’anha beliau berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengada-adakan suatu perkara di dalam urusan [agama] kami ini yang bukan berasal darinya, maka ia pasti tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim). Di dalam riwayat Muslim, “Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami, maka ia pasti tertolak.”

Ibnul Qayyim menjelaskan, ada dua buah pertanyaan yang semestinya diajukan kepada diri kita sebelum mengerjakan suatu amalan. Yaitu: Untuk siapa? dan Bagaimana? Pertanyaan pertama adalah pertanyaan tentang keikhlasan. Pertanyaan kedua adalah pertanyaan tentang kesetiaan terhadap tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab amal tidak akan diterima jika tidak memenuhi kedua-duanya (lihat Ighatsat al-Lahfan, hal. 113).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Simpul pokok ajaran agama ada dua: kita tidak beribadah kecuali hanya kepada Allah, dan kita beribadah kepada-Nya hanya dengan syari’at-Nya. Kita tidak beribadah kepada-Nya dengan bid’ah-bid’ah. Hal itu sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan sesuatupun dalam beribadah kepada Rabbnya.” (al-Kahfi: 110).” (lihat Da’a’im Minhaj Nubuwwah, hal. 87)

Kesimpulan dan Faidah :

– Wajib mengamalkan ilmu

– Beramal tanpa ilmu adalah kesesatan

– Berilmu tanpa amalan adalah dimurkai

– Amal adalah buah dari ilmu

– Amal adalah bagian dari iman

– Amal harus ikhlas dan sesuai dengan tuntunan

– Jalan yang lurus adalah berilmu dan beramal

– Yahudi adalah golongan yang dimurkai

– Nasrani adalah golongan yang sesat

– Berilmu tanpa amal menyerupai kesesatan Yahudi

– Beramal tanpa ilmu menyerupai kesesatan Nasrani

– Amal yang ikhlas adalah yang dilakukan karena Allah

– Amal yang sesuai tuntunan adalah yang mengikuti ajaran/sunnah Rasul

Pertanyaan Evaluasi :

– Sebutkan apa saja konsekuensi mengenal Allah!

– Sebutkan apa saja konsekuensi mengenal Nabi!

– Sebutkan apa saja konsekuensi mengenal Islam!

– Sebutkan dua syarat diterimanya amalan!

– Sebutkan dalil yang mencela orang yang berilmu tetapi tidak beramal!

– Mengapa Yahudi termasuk golongan yang dimurkai?

– Mengapa Nasrani termasuk golongan yang sesat?

– Sebutkan dalil bahwa amal itu harus ikhlas!

– Sebutkan dalil bahwa amal harus mengikuti tuntunan!


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/faidah-ushul-tsalatsah-bagian-7/